Friday, May 30, 2014

Solo Destination, Menjelajah Kota Solo Lewat Aplikasi Android

"Bernama Solo Destination, aplikasi ini diperkenalkan pertama kali pada tanggal 23 Februari 2014, dan baru akan diluncurkan secara resmi pada tanggal 1 Juni mendatang"

Hai guys! Berbagai macam kelebihan smartphone mendorong berbagai pihak untuk memanfaatkan kecanggihan teknologi yang satu ini, termasuk Pemkot Solo yang akan segera menghadirkan aplikasi wisata menjelajah Kota Solo di handset Android, yang juga akan tersedia untuk BlackBerry dan iOS. Bernama Solo Destination, aplikasi ini diperkenalkan pertama kali pada tanggal 23 Februari 2014, dan baru akan diluncurkan secara resmi pada tanggal 1 Juni mendatang. Namun bagi yang penasaran ingin mencoba, kalian sudah bisa mengunduhnya via App Store dan Play Store, meskipun masih belum sempurna.

Solo Destination memuat informasi mengenai tempat wisata, kuliner, belanja, dan tempat penginapan di Kota Solo. Aplikasi ini juga menyajikan informasi mengenai rute dan keberangkatan Batik Solo Trans, sehingga pengguna smartphone akan dapat memperkirakan kapan bus BST akan tiba di halte-halte yang tersebar di Kota Solo menggunakan teknologi GPS yang tertanam di tiap armada Batik Solo Trans. Selain itu, pada setiap wisatawan yang tiba di Solo, secara otomatis akan mendapat notifikasi pesan pendek mengenai agenda terbaru di Kota Solo saat ini.

Peluncuran aplikasi Solo Destination akan dibarengi dengan diadakannya Bazar Gadget Solo Car Free Day sekaligus memperingati ulang tahun Solo Car Free Day yang ke-4. Pemkot Solo mengklaim Solo Destination sebagai aplikasi city guide di smartphone yang pertama ada di Indonesia. Peluncuran aplikasi ini juga akan dicatat oleh Museum Rekor Indonesia.

Berikut tampilan aplikasi Solo Destination :


Bagi yang ingin mencoba bisa langsung mengunduhnya disini. insenia-id.blogspot.com

110 Patung Merana: Simbol Penderitaan Korban Lumpur Lapindo

"Setidaknya bayangkan jika hal itu terjadi pada kita, karena bencana seperti ini bisa terjadi kapan saja dan dimana saja"

Danau Lumpur Sidoarjo, sebuah simbol ketidakberdayaan rakyat tertindas. Sebuah peringatan dan amarah sang alam kepada manusia yang serakah. Sudah delapan tahun lamanya tragedi ini berlangsung, lumpur terus keluar dari perut bumi, memaksa rakyat kecil untuk meninggalkan rumah mereka, meninggalkan mata pencaharian mereka, meninggalkan harapan hidup mereka, tanpa ada sepatah kata pun, tanpa ada kata maaf apalagi pertanggungjawaban dari mereka yang tak merasa bersalah.

Hai guys! Delapan tahun sudah dilewati saudara-saudara kita di Sidoarjo yang menjadi korban keganasan semburan lumpur Lapindo. Delapan tahun bukan waktu yang singkat, selama delapan tahun itu kita bisa tidur nyenyak dan makan enak sementara saudara-saudara kita disana tak pernah bisa mengalami apa yang kita rasakan. Bahkan hingga sekarang tak ada solusi apapun untuk menghentikan amukan lumpur tersebut. Saudara kita disana mungkin juga sudah lelah menanti kejelasan pemerintah, sudah begitu lelah menanti pertanggung jawaban yang tak kunjung datang.

Dadang Christanto

Di "danau lumpur" tersebut sekarang kalian akan menemukan sebuah pemandangan baru. Sebuah karya seni kemanusiaan. Ia adalah Dadang Christanto, seorang seniman kontemporer yang membuat karya berupa 110 patung manusia setinggi sekitar 2 meter. Patung-patung itu diletakkan di titik 21 tanggul lumpur. Mereka berbaris dengan tangan menengadah sambil memegang rongsokan peralatan rumah tangga yang dilumuri lumpur. Sebuah karya seni cerdas yang berusaha menyindir keadaan sekarang ini.


Saya mulai terpikirkan, kenapa pemerintah tidak membuat Museum Lumpur Lapindo? Mirip seperti Museum Tsunami di Aceh, atau Museum Vulkanologi di lereng Merapi. Bukankah ini merupakan bencana nasional? Atau jangan-jangan mereka bahkan tidak menganggap ini adalah sebuah bencana? Jika itu benar, maka ini merupakan bencana besar bagi bangsa ini, bencana besar karena ternyata kita memiliki pemimpin yang hanya bisa pura-pura tak mau tahu. Ide 110 patung memang cerdas, namun jika Museum Lumpur Lapindo benar-benar direalisasikan setidaknya ada dua poin yang bisa dirasakan. Pertama, daerah tersebut dapat menerima penghasilan dari sektor pariwisata, dan yang kedua, sebagai pembelajaran akan keserakahan dari segelintir manusia.

Delapan tahun bukan waktu yang sebentar, ada baiknya kita semua ikut mendoakan para korban agar segera mendapatkan keadilan dan kejelasan bagi kehidupan mereka. Setidaknya bayangkan jika hal itu terjadi pada kita, karena bencana seperti ini bisa terjadi kapan saja dan dimana saja. insenia-id.blogspot.com

Coelacanth, Ikan Purba yang Masih Hidup di Perairan Indonesia

"Melihat fisiknya sekilas saja kita sudah yakin bahwa ikan ini adalah sebuah fosil hidup"

Hai guys! Indonesia sampai sekarang masih banyak menyimpan misteri yang tidak kita ketahui, salah satu yang sempat menggemparkan dunia adalah penemuan coelacanth. Ikan purba yang diperkirakan sudah punah ini ditemukan kembali di perairan Manado. Coelacanth merupakan cabang evolusi tertua yang masih hidup dari ikan berahang. Ikan ini memiliki ciri khas ikan-ikan purba pada umumnya, ekornya berbentuk seperti sebuah kipas, matanya yang besar, dan sisiknya yang terlihat seperti batu. Ukurannya kira-kira 2/3 tubuh orang dewasa dan tubuhnya berwarna ungu gelap. Melihat fisiknya sekilas saja kita sudah yakin bahwa ikan ini adalah sebuah fosil hidup.

Coelacanth diperkirakan sudah punah sejak akhir masa Cretaceous 65 juta tahun yang lalu, sampai sebuah spesimen ditemukan di timur Afrika Selatan, di perairan sungai Chalumna tahun 1938. Setelah itu coelacanth kemudian ditemukan di Komoro, perairan pulau Manado Tua di Sulawesi, Kenya, Tanzania, Mozambik, Madagaskar dan taman laut St. Lucia di Afrika Selatan. Itu artinya hewan ini hanya ditemukan di dua belahan dunia, yang pertama di Afrika bagian selatan, sementara yang lain membentang lebih dari 10.000 km jauhnya di perairan Sulawesi.


Di Indonesia, khususnya di Manado, Sulawesi Utara, spesies ini oleh masyarakat lokal dinamai ikan raja laut. Pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1998, ikan raksasa ini tertangkap jaring nelayan di perairan Pulau Manado Tua. Ikan ini sudah dikenal lama oleh para nelayan setempat, namun belum diketahui keberadaannya di sana oleh dunia luas. Ikan temuan tersebut kemudian dikirimkan kepada seorang peneliti Amerika yang tinggal di Manado, Mark Erdmann. Penemuan ini kemudian dipublikasikan di jurnal ilmiah Nature.


Berikutnya pada bulan Mei 2007, seorang nelayan Indonesia menangkap seekor coelacanth di lepas pantai Sulawesi Utara. Ikan ini memiliki ukuran sepanjang 131 centimeter dengan berat 51 kg ketika ditangkap. Di Bunaken ikan ini juga pernah ditemukan hidup berenang dengan bebasnya. Kemungkinan masih terdapat populasi coelacanth yang lain di dunia, terutama di Indonesia, mengingat bahwa ikan ini hidup terisolir di kedalaman laut di sekitar pulau-pulau vulkanik. Hingga saat ini status taksonomi coelacanth Manado ini masih diperdebatkan.

Namun sayang nasib coelacanth tak seperti komodo. Jika saja pemerintah Indonesia mau memperhatikan dan menjaga perairan tempat hidup coelacanth tersebut, tak mustahil coelacanth dapat menjadi daya tarik lain dari Indonesia di mata dunia. Memang, negeri kita ini sangat kaya, semoga anak cucu kita senantiasa menjaganya dan bukan malah merusaknya. insenia-id.blogspot.com